Perkembangan Percetakan di Dunia Islam

Pada masa Dinasti Fatimiyah, percetakan mulai mengalami perkembangan. Pencetakan sebuah manuskrip memiliki sejarah panjang. Ini tak semata terkait dengan mesin cetak yang ditemukan Johannas Gutenberg. Namun, lebih memiliki kaitan dengan kegiatan percetakan yang telah dilakukan lama sebelumnya. Termasuk, perkembangannya di dunia Islam. Menurut Dr Geoffrey Roper, seorang konsultan perpustakaan yang bekerja dengan Institute for the Study of Muslim Civilisations, London, Inggris, Gutenberg diakui sebagai orang pertama yang menemukan mesin cetak. Namun, menurut Roper, aktivitas mencetak, yaitu membuat sejumlah salinan dari sebuah teks dengan memindahkannya dari satu permukaan ke permukaan lainnya, khususnya kertas, yang telah berusia lebih tua dibandingkan penemuan mesin cetak Gutenberg. Orang-orang Cina telah melakukannya sekitar abad ke-4. Cetakan teks tertua yang diketahui berangka tahun 868 Masehi, yaitu Diamond Sutra. Ini merupakan sebuah terjemahan teks Buddha berbahasa Cina yang tersimpan di British Library. Namun, hal yang tak banyak terekspos adalah sekitar 100 tahun kemudian, Arab Muslim juga memiliki kemampuan mencetak teks. Termasuk, lembaran Alquran. Ini berawal dari langkah Muslim untuk mempelajari kemampuan pembuatan kertas dari Cina. Lalu, umat Islam mengembangkan kemampuan itu di seluruh wilayah Islam. Hal ini memicu tumbuh berkembangnya produksi manuskrip-manuskrip teks.  Pada masa awal perkembangan kekuasaan Islam, manuskrip tak dibuat secara massal dan tak pula didistribusikan untuk masyarakat. Kala itu, manuskrip yang ada berisikan penjelasan tentang shalat, doa-doa, intisari Alquran, dan asmaul husna yang sangat dikenal oleh Muslim.

Apa pun tingkat sosialnya, baik Muslim yang kaya, miskin, terdidik, maupun berpendidikan rendah. Kemudian, baru pada kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir, teknik cetak manuskrip di atas kertas berkembang. Mereka mencetak manuskrip secara massal. Kemudian, manuskrip-manuskrip hasil cetakan itu dibagikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sejumlah cetakan manuskrip itu ditemukan para arkeolog saat dilakukan penggalian di Fustat atau Kairo lama. Menurut Roper yang dikutip laman Muslimheritage, cetakan manuskrip tersebut diyakini berasal dari abad ke-10. Cetakan manuskrip sejenis ditemukan juga di sejumlah tempat lainnya di Mesir. Rope mengungkapkan, iklim kering di Mesir telah membantu menyelamatkan manuskrip itu sehingga tak membuatnya menjadi rusak. Pada periode kekuasaan Dinasti Mamluk, yang berlangsung pada abad ke-13 hingga abad ke-16, ditemukan sejumlah cetakan tulisan Arab dengan beragam gaya, di antaranya adalah Kufi. Perkembangan kegiatan percetakan di dunia Islam berlangsung hingga 500 tahun. Sejumlah hasil cetak manuskrip yang dihasilkan di dunia Islam masih bertahan. Paling tidak, ada 60 sampel manuskrip yang tersisa dan tersebar di Eropa, museum dan perpustakaan di Amerika Serikat (AS), serta ada di Mesir dalam jumlah yang tak diketahui secara pasti. Ada pula cetakan manuskrip yang berasal dari Afghanistan atau Iran. Terungkap pula bahwa hanya sedikit referensi yang mengungkapkan alat percetakan yang digunakan pada masa Islam. Referensi yang ada di antaranya adalah puisi-puisi Arab pada abad ke-10 dan ke-14.

Puisi itu menggambarkan bahwa alat percetakan pada masa itu dibuat pada sebuah pelat yang diukir dengan huruf-huruf. Ada pula yang mengungkapkan, alat percetakan dibuat pada blok kayu dengan huruf-huruf seperti gaya huruf Cina. Tak diketahui pula, apakah kegiatan percetakan di dunia Islam memberikan pengaruh pada aktivitas yang sama di Eropa. Tak ada bukti yang menunjukkan adanya pengaruh itu. Namun, kemungkinan adanya pengaruh memang tak bisa dinafikan. Terutama, cetakan manuskrip Eropa yang bergaya cetakan blok. Ada kemungkinan bahasa Italia tarocchi memiliki arti kartu tarot, yang termasuk artefak awal cetak blok di Eropa, berasal dari istilah Arab. Namun, memang harus diakui, ini merupakan teori spekulatif yang perlu dibuktikan lebih lanjut. Perlu banyak bukti untuk mengambil kesimpulan terkait hal tersebut. Di sisi lain, ada fakta bahwa percetakan buku dalam bahasa Arab muncul di Eropa, khususnya Italia. Percetakan ini dilakukan secara sporadis yang berlangsung sebelum 1514 Masehi. Seorang dari Venezia yang bernama Gregorio de Gregori menerbitkan buku berjudul Book of Hours atau Kitab Salat al-Sawa’i untuk dikirimkan ke komunitas Kristen di Suriah.

Sayangnya, cetakan huruf kurang bagus, bahkan hampir tak bisa dibaca. Bagaimanapun, langkah Gregorio itu merupakan upaya yang berani untuk mencoba mencetak buku dengan abjad Arab. Ada juga nama Robert Granjon, desainer dari Prancis yang terkait dengan dunia percetakan. Granjon berusaha merancang alat percetakan seperti yang ada di dunia Islam. Ia berupaya mencetak buku dalam bahasa Arab sebab saat itu buku-buku berbahasa Arab cukup banyak diminati. Pada masa selanjutnya, Kardinal de Medici pun ikut berkecimpung dalam bidang ini. Medici mencari seorang yang mahir berbahasa oriental untuk mengawasi operasi percetakkan buku. Akhirnya, ia bertemu Giovan Battista Raimondi, seorang filsuf, ahli matematika, dan ahli kimia. Hal terpenting, ia memiliki kompetensi yang berkaitan dengan percetakan Arab. Selama melancong ke Timur, Raimondi telah belajar bahasa Arab, Turki, dan Persia. Selain itu, ia pun mengumpulkan tata bahasa dan kamus bahasa-bahasa tersebut. Dia juga mempunyai pengalaman yang banyak dalam menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan bahasa Arab. Untuk membuat percetakan bergaya Arab, Raimondi menyewa beberapa bangunan di Piazza del Monte d’Oro di Roma. Dia memerintahkan para pegawaianya untuk mempersiapkan tinta, kertas, dan bahan lain yang diperlukan. Cetakan teks-teks akhirnya dibuat melalui alat cetak yang bernama Domenico Basa.

Buku pertama yang berhasil dicetak adalah Precationum, yakni sebuah buku doa-doa Arab Kristen. Mereka juga mencetak buku sejarah karya Abu al-Abbas Ahmad ibn Khalil al-Salihi. Buku tersebut berjudul The Book of the Garden of the Wonders of the World,Muteferrika dan Percetakan di Turki Saat masa kekuasaan Turki Utsmani, upaya untuk mewujudkan percetakan juga muncul. Ada sebuah nama yang berkontribusi dalam terwujudnya kegiatan tersebut, yaitu Ibrahim Muteferrika. Lelaki kelahiran 1647 Masehi ini merupakan seorang prajurit, ilmuwan, diplomat, dan penulis. Kala masih belia, ia menyaksikan kegagalan yang pernah dialami oleh tentara Turki di suatu masa saat melakukan pengepungan di Vienna. Kemudian, ia menyadari bahwa itu menjadi pertanda penurunan kekuatan militer Turki. Banyak hal yang menyebabkan penurunan ini. Namun, Muteferrika menyimpulkan, perlu inovasi untuk meningkatkan kekuatan tentara Turki. Termasuk, harus mengadopsi inovasi yang dilakukan oleh tentara Eropa. Hal itu harus dilakukan. Jika tidak, tentara Turki tak akan mampu meningkatkan kemampuannya. Akibatnya, tentara Turki tak akan memiliki daya untuk mempertahankan kekuasaan Turki. Berpijak pada kenyataan itulah, ia memikirkan bagaimana membangun sebuah percetakan. Tujuannya, menyebarkan ide-ide ilmiah tentang kekuatan militer.

Dalam pandangan Muteferrika, penyebaran ide itu harus dilakukan secara cepat dan masif. Ia lalu mendorong penerjemahan teks-teks dari Eropa yang kemudian dicetak secara massal. Sayangnya, konservatisme pemerintah Turki saat itu menghadang ide Muteferrika. Namun, Muteferrika tak patah arang. Ia mencari dukungan dari karibnya, yaitu Chelebi Mehmed Pasha Yirmisekiz, dan anaknya Sa’id yang pada 1721 baru kembali dari misi diplomatik ke Paris. Keduanya memiliki pandangan maju dan dibalut keinginan untuk melakukan perubahan. Mereka juga mengagumi kemajuan yang terjadi di Paris, termasuk percetakan. Dengan bantuan mereka, akhirnya Wazir Agung Ibrahim Pasha mendorong Muteferrika membuat sebuah petisi kepada Sultan Ahmed III yang menjelaskan pentingnya percetakan. Muteferrika pun memenuhinya. Ia membuat penjelasan perinci yang berjudul Wasilat al-Tiba’a atau The Utility of Printing. Dalam pembukaannya, ia mengingatkan pentingnya melestarikan hukum negara dan kesulitan untuk melakukannya.

Menurut Muteferrika, orang-orang kuno menuliskan dan mengabadikan hukum mereka pada tablet atau menuliskannya pada lembaran kulit. Namun, tablet atau perangkat lainnya yang digunakan untuk menuliskan hukum itu tak bisa selalu terlindungi. Kekuasaan negara juga tak selalu bisa melindunginya, terutama dalam suasana perang. Muteferrika kemudian mencontohkan peristiwa penghancuran buku yang dilakukan oleh Genghis Khan dan Hulagu Khan, para penakluk Mongol pada abad ke-12. Mereka menghancurkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah, membakar atau merusak semua karya seni dan ilmu yang terdokumentasikan dalam bentuk buku. Saat Sultan Ahmed III menerima petisi itu, ia mengonsultasikan hal itu kepada seorang mufti yang bernama Shaikh Abd Allah. Sang mufti yang ahli dalam hukum Islam itu memandang tak ada masalah usulan pembangunan percetakan itu. Akhirnya, setelah mendapat jawaban dari sang mufti, Sultan Ahmed III mengizinkan pendirian percetakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar